Kemajemukan
dalam Semangat Kebangsaan
Sekar Hayati
Pending
di khatulistiwa tanahku Indonesia..
Ribu
pulaunya ragam sukunya..
Satu jiwa
raganya..
Indonesia..Indonesia
Aku
bangga menjadi anak Indonesia!
Tahu potongan syair lagu di atas?Ya,
lirik sederhana yang diciptakan sang Maestro, A.T Mahmud, memang menggugah anak
Indonesia untuk berbangga akan tanah airnya. Bangga akan kekayaan alamnya,
bangga akan keberagamannya, dan bangga akan kesatuan jiwanya. Semangat
persatuan yang bergelora dalam perbedaan sengaja ditanamkan pada generasi muda
penerus bangsa.
Hidup di lingkungan yang majemuk
adalah suatu tantangan tersendiri bagi suatu bangsa. Latar belakang yang
beraneka turut menciptakan kultur-kultur hidup yang berbeda-beda. Kultur-kultur
yang berbeda ini kadang ditumpangi dengan kepentingan-kepentingan yang berlainan
dan tak jarang berlawanan.
Pada awalnya, menurut Dr. Nasikun,
keberagaman ini terbentuk akibat letak dan bentuk Indonesia yang berpulau-pulau
dan berjauh-jauhan. Kontak yang sulit terjadi antarpenduduk di beda area ini
menimbulkan pola-pola hidup yang berbeda, termasuk adat budaya. Kondisi ini
bahkan dapat menciptakan rasa tidak saling memiliki. Bagaimana tidak? Menyadari
keberadaan satu sama lain saja belum tentu. Selebihnya, faktor lokasi yang diapit
dua samudra membuka peluang bagi bangsa lain untuk masuk ke wilayah Nusantara
dan memberi pengaruh pada kehidupan masyarakat pribumi. Pengaruh itu mulai dari
yang sederhana sampai yang kompleks. Mulai dari cara berpakaian sampai
perkawinan. Seiring perjalanan waktu, keberagaman pun terbentuk dan terus
berkembang hingga detik ini. Spektrumnya pun meluas. Bukan hanya melulu tentang
suku, agama, etnis, kewilayahan, tetapi juga merambah ranah ideologi, opini,
politik, hingga orientasi ekonomi.
Lalu bagaimana bila kemajemukan ini
terjadi dalam suatu negara yang notabenenya harus bersatu? Tentu bukan perkara
remeh, mengingat perbedaan itu sangat riskan menuai konflik. Masih ingatkah
dengan beberapa kerusuhan antargolongan yang terjadi di beberapa wilayah di
tanah air? Belum lagi, muncul komunitas-komunitas ideologi tertentu yang ingin
merombak sistem pemerintahan kita saat ini. Malangnya, manuver-manuver yang
dilancarkan justru menimbulkan keresahan masyarakat.
Furnival yang pernah menganalisis
Indonesia pada era kolonial mengemukakan bahwa kemajemukan diindikasikan dengan
tidak adanya kesamaan visi (common will) antargolongan yang ada kala itu.
Bangsa Belanda menempatkan dirinya dalam koridor kepentingan pekerjaan semata.
Sementara warga keturunan asing hanya berjibaku dengan segmen-segmen
perekonomian. Kalangan Bumiputera sendiri hanya berkonsentrasi pada
kapasitasnya sebagai kalangan kasta bawah. Ketiga golongan, diungkapkan
Furnival, tetap mempertahankan pola pikir, tindakan dan rasa masing-masing. Hal
inilah kemudian yang menciptakan lingkungan tidak padu. Kalangan yang tidak saling
membaur dan “memenjarakan diri” dalam zona masing-masing inilah yang
menimbulkan keberagaman berkonflik.
Maka dari itu, untuk menyatukan
kalangan-kalangan tersebut, perlu dimunculkan suatu pengikat yang dapat
menghubungkan masing-masing elemen. Masih menurut Dr. Nasikun, pengikat itu
dapat berupa konsensus mengenai nilai-nilai kemasyarakatan yang mendasar.
Konsensus atau kesepakatan memang diperlukan untuk membangun sebuah lingkungan
masyarakat yang terintegrasi. Seperti kita ketahui bersama, kesamaan paham akan
suatu fenomena akan lebih mudah membawa individu-individu yang berbeda untuk
menyatu. Contoh mudahnya yang dekat dengan kehidupan kita adalah label
Padmanaba bagi siswa-siswi SMAN 3 Yogyakarta. Siswa-siswi dengan latar belakang
budaya, agama, etnis, bahkan ideologi yang berbeda dan cenderung mengelompok
ini dapat menjadi solid akibat pemahaman akan ke-Padmanaba-an ini. Ada semacam
kesepakatan mengenai apa-apa saja yang termasuk dalam kaidah ke-Padmanaba-an
itu, lalu diyakini dan diaplikasikan. Dalam bidang yang lain, memang
kemajemukan tidak terelakkan, tetapi menyangkut nilai yang sama maka kesatuan
akan terwujud.
Selain itu keberadaan cross-cutting affiliation yang kemudian
mendukung tumbuhnya cross-cutting
loyalities. Cross-cutting loyalities yakni loyalitas yang silang menyilang
antaranggota masyarakat terhadap kelompok-kelompok atau satuan-satuan sosial di
mana mereka menjadi anggotanya. Meskipun termasuk dalam suatu kelompok, tidak
menutup kemungkinan anggota tersebut juga termasuk dalam suatu komunitas lain.
Misalnya saja seorang pegawai negeri yang juga tergabung dalam komunitas sepeda
gembira. Maka, solidaritas yang terbentuk bukan hanya antarpegawai negeri,
tetapi juga antarpecinta sepeda yang datang dari berbagai kalangan ini.
Melalui kedua landasan tersebut dapat
disimpulkan bahwa kemajemukan suatu bangsa dapat terintegrasi. Indonesia dapat
menjadikan perbedaan yang terbentang justru dapat dijadikan pengikat yang kuat.
Apalagi Indonesia memiliki spirit kebangsaan Bhineka Tunggal Ika. Sekalipun
berbeda-beda tetaplah satu. Satu nusa, satu bangsa, satu rasa, dan satu cita.
Ribu pulaunya ragam sukunya
Satu jiwa raganya..