Sabtu, 16 Februari 2013

Tentang Lelaki dan Perempuan


Suatu hari teman saya datang kepada saya- kami waktu itu ada sedikit kesalahpahaman- ia meminta maaf kepada saya.
“Sekar, aku sebagai laki-laki, aku minta maaf”
Saya pun berpikir, ngapain harus menambahkan embel-embel saya laki-laki. Dalam konsep otak saya, permintaan maaf tidak memandang perempuan atau laki-laki. Minta maaf ya minta maaf saja. Laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama, bisa bikin salah dan bisa disalahi. Dengan peluang dan kemungkinan yang sama ngapain dibedakan. Ini kan bukan seperti bikin toilet, meskipun sama-sama bisa buang hajat tapi biliknya dibedakan.
Belakangan saya baru paham, dia bilang demikian karena waktu itu masih siang hari, jadi dia masih seorang laki-laki, kalau hari sudah gelap mungkin intronya akan berbeda
“Sekar, aku sebagai....”
            Minta maaf dan memberi maaf merupakan hak dan kewajiban. Meminta maaf adalah hak sementara memberi maaf adalah kewajiban. Maka, saling memaafkan tak ubahnya sebuah transaksi ekonomi. Transaksi apa pun bentuknya, tidak dibatasi oleh gender.
            Misal ke pasar, namanya transakasi tidak memilih jenis kelamin, prosedurnya ya sama. Masa iya:
“Jeruk sekilo berapaan?” (ibu-ibu)
“25, Bu,”
“Jeruk sekilo berapaan?” (bapak-bapak)
“35, Pak,”
“Jeruk sekilo berapaan?” (banci)
“Gak dijual”
            Laki-laki dan perempuan secara global sama saja. Bahkan di dalam rumah tanggapun sering terjadi yang demikian. Bapak ibu sama-sama bekerja, sama-sama punya andil dalam mengatur urusan keluarga. Bapak sebagai raja, tapi tetap saja ibu sebagai perdana menteri. Ya, endingnya tampuk kekuasaan memang ada pada ibu sih....setidaknya kan sama-sama pemimpin.
            Tapi saya heran, masyarakat kita ini memang suka membedakan bagian laki-laki dan perempuan, sampai hal-hal yang sepele seperti masalah siapa yang punya hak dagang makanan!
Sampai sekarang saya masih tidak paham mengapa pedagang mi ayam, bakso, soto kebanyakan bapak-bapak. Di pinggir-pinggir jalan yang lebih populer adalah bakso pak kumis, soto cak parno, bakso pak narto dan sebagainya. Tidak ada yang pake bu atau mbak. Mungkin efek doktrin dari lagu jaman anak-anak dulu: “Abang tukang bakso mari-mari sini, saya mau beli..” Abang..bukan emak!
Sementara, penjual lotek, gado-gado, gudeg dan apa pun yang pake nasi kebanyakan juga perempuan. Gudeg Yu Jum, gudeg Bu Citro, gado-gado Yu Yem, nasi pecel Bu Wiryo. What’s wrong baby? Kenapa gak pake nama suaminya? Padahal yang modalin suaminya...
Misal gudeg Pak Citro
“Pak beli gudeg”
“Hmmm.” (tampang horor)
“Arehnya 2 sendok”
“Hmmm,”
“Pake krecek tapi gak usah pake cabe, trus ayam suwirnya dari pupu ya Pak, ohya ijo-ijoannya dikit aja. Nasinya separuh, dipisah. Ditambahin telor separuh. Trus tempe seprem..huaaaaaaaaaa”
-----disiram areh mendidih-----
            Ini misteri yang fundamental.
*Ya kalau masalah kenapa penjual cilok harus mas-mas alay polem dan kenapa bunyi-bunyian pedagang keliling beda-beda, siapa yang ngatur, tidak akan dibahas di sini*
            Masyarakat juga tidak adil. Kalau perempuan merambah dunia yang didominasi para pria maka akan dibanggakan, dijadikan contoh. Kalau perempuan jadi politisi, jadi polisi disebutnya emansipasi. Tapi kenapa kalau laki-laki jadi tukang masak, tukang rias, perancang busana dicuekin aja? Malah sebagian kaum ekstrimis langsung memvonis kiamat sudah dekat. Apa bedanyaaaa???
           
            

Tidak ada komentar:

Posting Komentar