Suatu hari teman saya datang kepada
saya- kami waktu itu ada sedikit kesalahpahaman- ia meminta maaf kepada saya.
“Sekar, aku sebagai laki-laki, aku minta maaf”
Saya pun berpikir, ngapain harus
menambahkan embel-embel saya laki-laki. Dalam konsep otak saya, permintaan maaf
tidak memandang perempuan atau laki-laki. Minta maaf ya minta maaf saja.
Laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama, bisa bikin salah dan
bisa disalahi. Dengan peluang dan kemungkinan yang sama ngapain dibedakan. Ini
kan bukan seperti bikin toilet, meskipun sama-sama bisa buang hajat tapi
biliknya dibedakan.
Belakangan saya baru paham, dia bilang demikian
karena waktu itu masih siang hari, jadi dia masih seorang laki-laki, kalau hari
sudah gelap mungkin intronya akan berbeda
“Sekar, aku sebagai....”
Minta
maaf dan memberi maaf merupakan hak dan kewajiban. Meminta maaf adalah hak sementara
memberi maaf adalah kewajiban. Maka, saling memaafkan tak ubahnya sebuah
transaksi ekonomi. Transaksi apa pun bentuknya, tidak dibatasi oleh gender.
Misal
ke pasar, namanya transakasi tidak memilih jenis kelamin, prosedurnya ya sama.
Masa iya:
“Jeruk sekilo berapaan?” (ibu-ibu)
“25, Bu,”
“Jeruk sekilo berapaan?” (bapak-bapak)
“35, Pak,”
“Jeruk sekilo berapaan?” (banci)
“Gak dijual”
Laki-laki
dan perempuan secara global sama saja. Bahkan di dalam rumah tanggapun sering
terjadi yang demikian. Bapak ibu sama-sama bekerja, sama-sama punya andil dalam
mengatur urusan keluarga. Bapak sebagai raja, tapi tetap saja ibu sebagai
perdana menteri. Ya, endingnya tampuk kekuasaan memang ada pada ibu
sih....setidaknya kan sama-sama pemimpin.
Tapi
saya heran, masyarakat kita ini memang suka membedakan bagian laki-laki dan
perempuan, sampai hal-hal yang sepele seperti masalah siapa yang punya hak
dagang makanan!
Sampai sekarang saya masih tidak paham
mengapa pedagang mi ayam, bakso, soto kebanyakan bapak-bapak. Di
pinggir-pinggir jalan yang lebih populer adalah bakso pak kumis, soto cak
parno, bakso pak narto dan sebagainya. Tidak ada yang pake bu atau mbak.
Mungkin efek doktrin dari lagu jaman anak-anak dulu: “Abang tukang bakso
mari-mari sini, saya mau beli..” Abang..bukan emak!
Sementara, penjual lotek, gado-gado, gudeg dan apa
pun yang pake nasi kebanyakan juga perempuan. Gudeg Yu Jum, gudeg Bu Citro, gado-gado
Yu Yem, nasi pecel Bu Wiryo. What’s wrong baby? Kenapa gak pake nama suaminya?
Padahal yang modalin suaminya...
Misal gudeg Pak Citro
“Pak beli gudeg”
“Hmmm.” (tampang horor)
“Arehnya 2 sendok”
“Hmmm,”
“Pake krecek tapi gak usah pake cabe, trus ayam
suwirnya dari pupu ya Pak, ohya ijo-ijoannya dikit aja. Nasinya separuh,
dipisah. Ditambahin telor separuh. Trus tempe seprem..huaaaaaaaaaa”
-----disiram areh mendidih-----
Ini
misteri yang fundamental.
*Ya kalau masalah kenapa penjual cilok harus mas-mas
alay polem dan kenapa bunyi-bunyian pedagang keliling beda-beda, siapa yang
ngatur, tidak akan dibahas di sini*
Masyarakat
juga tidak adil. Kalau perempuan merambah dunia yang didominasi para pria maka
akan dibanggakan, dijadikan contoh. Kalau perempuan jadi politisi, jadi polisi
disebutnya emansipasi. Tapi kenapa kalau laki-laki jadi tukang masak, tukang
rias, perancang busana dicuekin aja? Malah sebagian kaum ekstrimis langsung
memvonis kiamat sudah dekat. Apa bedanyaaaa???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar