Jumat, 30 September 2011

Hedeuh hedeuh..Pak Dokter..hedeuh

Sudah dua minggu ini saya menderita penyakit rakyat yang biarpun sepele tapi bertele-tele. Pilek. Watuk. Wuah, sama sekali tidak menarik. Sentrak sentruk grak grek. Setiap detik yang berlalu adalah siksaan, setiap menit yan berjalan adalah penganiayaan, dan setiap jam yang bergulir adalah keputusasaan. Sedih. Tetapi tidak menyedihkan.

Petang ini, selepas sembahyang Maghrib, Ibu membawa paksa saya ke dokter. Sebenarnya, saya juga aras-arasen. Lha gimana? Hla wong cuman perkara umbel sama riyak saja kok ndadak ngenthek ke dokter. Tapi, Ibu saya punya alasan masuk akal yang membuat saya tidak bisa endha alias menghindar lagi :
"Senen ki kowe wis Mid, kepiye bisa konsen nek dilit-dilit ngelapi umbel, wotak-watuk kaya simbah-simbah,nganggu tanggane ngganggu awakmu dhewe"

Dan di sanalah saya duduk di ruang tunggu--yang lebih tepat disebut garasi dipasangi kursi. Masih pukul 6. Pasien baru-atau memang cuma- saya. Bahkan, tidak tampak tanda-tanda kehidupan. Kami menunggu kurang lebih 20 menit (clingak-clinguk bak maling ayam). Cukup bagi saya untuk mengamat-amati ruang tunggu praktik tersebut. Sederhana sih, sebuah etalase sarat aneka obat dipasang menghadap jalan. Aneka poster seperti: Narkoba..Cara Instan Penghancur Masa Depan; Waspada Demam Berdarah: 3M (Menguras, Mengubur, Menutup); Makanan Bergizi untuk Tumbuh Kembang Anak Bangsa.


Pukul 6 lewat, seorang mas-mas kurus berjaket hitam nongol. Ia masih mengenakan helm. Mendekat pada kami.
MM (mas-mas) : "Priksa ibu?" (masih pake helm)
Ibu : "Iya ini, anak saya,"
MM : "Maaf, ibu, silakan ditunggu dulu,"
Lalu, dengan tergopoh-gopoh ia menyiapkan segala sesuatunya--termasuk MEMASANGKAN televisi, agar kami terhibur maksudnya.
Seorang nenek turun dari becak, mengempit sebuah tas kecil.
Ibu : "Ya, soale ini dokter askes jadi pasiennya pancen wong tuwik-tuwik"
Aku: (ngelek ludah)
Ibu:"Tapi, ibu cocok karo dokter ini, wonge ki welcome"
Aku:(kethap-kethip+ndlongop)
Ibu:"Pokoke manut wae, sik penting mari'
Aku:(manthuk-manthuk+ndlongop)

Sesaat kemudian, muncul seorang om-om dengan jas putih, berkalung stetoskop, tetapi bercelana jeans dan kaos oblong gahol..

Saya pun dipanggil masuk (bersama om dokter tersebut). Kalo kuprediksi, usianya tidak lebih dari 33 tahunan..
OD (Om Dokter) :"Gimana, gimana dik..
Aku :"Batuk pak dokter, pilek"
OD :"Weleh..weleh, mesaake tenan, sudah brapa hari?"
Aku :"Ya dua minggunan lah, pak dokter"
OD :"Wuaduh..la kok suwe-suwe barang ki ngapa lho..mempertahankan kok mempertahankan batuk ckckck. Sini tak tensi"

Setelah ditensi, bincang-bincang pun berlanjut. Entah bagaimana awalnya sesi ini malah jadi sesi curhat pak dokter tersebut.

OD :"Saya tu dulu ndak pengen jadi dokter..saya dulu kepingin HI"
Aku:"Ohya to, pak dokter, saya juga kepingin HI"
OD :"Ya khaan, asik khaan ketoke,mulane. Aku tu malah ndaftar penerbang juga dulu, kepengen, eh taunya gak lolos..."
Aku:"Wah, tapi kan jadi dokter.."
OD: "Tapi nyeeeesel banget aku ndak bisa katut tu ya..MENYESALLLLL"
*entah kenapa kata "saya" berubah jadi "aku"
OD: "Lha, trus, sama mbahku putri itu aku suruh jadi dokter, lha di rumah nggak ada yang dokter kok dik. Ya gini deh jadinya, aku sing dadi KORBANNNN."
Aku:"Wah, ikhlas nggak ini pak dokter mriksanya"
OD:"Lho, ya eeekhlas lah. Lha dik sekar eklas nggak le sakit?"

Intinya, obrolan kami malah jadi kayak sama temen. Dan perlu dicatat, ini jenis teman yang heboh dan agak ngember..
Entah kenapa saya merasa lebih baik, bahkan sebelum meminum obatnya.


Selasa, 27 September 2011

Rakyat..oh rakyat

Memang pusing.
Ketika pada suatu masa kita ditempatkan dalam situasi dan kondisi yang sempit dan sulit.

Pernah suatu ketika, saya bertanya-tanya, bagaimana rasanya jadi Ibas Yudhoyono. Jadi anak pemimpin negeri, dikenal disana-sini, mau apa tinggal jentikkan jari.
Tetapi, saya tidak sampai hati, membayangkan bagaimana orang-orang seperti Ibas harus membangun mental baja menghadapi aneka badai yang menimpa bapaknya.
Bagaimanapun juga, selama masih ada rakyat, aparatur negara adalah sasaran cerca yang tiada tara.

Apa sih, segala sepak terjang yang dicanangkan pemerintah selalu jadi sumber masalah. Tanpa sadar, kita, rakyat jelata ini senang sekali nyacat negeri sendiri.

Jadi ingat, seorang sahabat yang 10 tahun lebih tua dari saya (serius) pernah berkata: Yang salah tu juga bukan mutlak pemerintahnya, kita tu ya yang terlalu demand, tapi gak ngaca, sejauh mana kemampuan kita. Sesuai gak sama kitanya.

Ya kadang kala, kita memang mudah bersikap aktif evaluatif. Tapi, kitang sering lupa, bagaimana seharusnya kita. Kita tidak paham dengan birokrasi yang ada. Memang lebih asik menghujat.

Jumat, 03 Juni 2011

Kesasar Sesar

Kayaknya, saya memang tidak berbakat di bidang tersebut. Kalau kali ini saya katut, mungkin just luck saja.

Hari ini, hari pertama pembinaan olimpiade dari dinas kota. Pembinaan di FT Geologi UGM ini, saya iuti setelah dinyatakan lolos seleksi kota (lagi).

Saya bertemu dengan wajah-wajah baru. Ada yang junior, ada pula yang ultra junior. Saya mungkin yang tertua di sana.

Pelajaran pertama, Geomorfologi. Pak dosen gaek tersebut memaparkan sebuah peta lawas hasil penginderaan pesawat ulang-aling pertama yang diambil dari ketinggan 10.000 meter.

Beliau menunjuk sebuah titik noda yang ukurannya tidak lebih dari kremi.
"Coba Anda tafsirkan zona yang saya tunjuk ini, kira-kira manifestasi apa yang terjadi pada roman muka bumi tersebut?"

Saya pun mencoba memicingkan mata. Tidak menangkap apa-apa.
Lalu, rekan sebangku saya, Riyawan menjawab dengan lantang ,
" Sesar naik, Pak, dengan kemiringan 20 drajat di sisi kanan,"
"Ya benar sekali,"

Saya pun bergumam:
"Pasti semacam keturunan dukun"

Minggu, 22 Mei 2011

Hidup Pilihan, Pilihan Hidup

"Ngapain lo gampar anak buah gue?"
"Goblok banget nih anak buah lo! Bego!"
"Ye biarin aje, dia emang pengen goblok, suka-suka die!"

Potongan dialog di atas saya saksikan di sebuah film yang sangat inspirasional bagi saya, Alangkah Lucunya Negeri Ini. Pembicaraan antara dua copet cilik ini memang tampak sederhana dan biasa saja. Namun, sebenarnya ini memberi sebuah pencerahan bagi kita untuk merenung sejenak..

(space untuk merenung)



Sudah barang tentu kita sangat familiar dengan kata bijak yang satu ini : Hidup adalah pilihan.

Macam-macam penafsiran dari kata bijak tersebut.

1) Hidup adalah pilihan yang artinya memilih untuk hidup, bukannya mati. Kita mengalahkan opsi untuk mati (karena kita bisa saja mempercepat takdir Tuhan dengan aneka cara) dengan memilih untuk tetap hidup.

2)Hidup adalah pilihan, artinya hidup ini dipenuhi dengan pilihan-pilihan jalan. Mau kita apakan hidup yang kita miliki ini. Apa yang bisa kita lakukan dalam hidup ini, apakah keburukan ataukah kebaikan. Jadi penjahat atau penjahit. Termasuk memilih untuk jadi goblok seperti dialog pembuka di atas.

3)Hidup adalah pilihan, artinya tidak memilih sama dengan tidak hidup. Tanpa pilihan ibarat terombang-ambing dalam sebuah bidang kosong yang tidak terdeskripsikan.



Ketiganya adalah substansi dasar dari memilih kehidupan dan menghidupkan pilihan. Hidup tidak bisa dipisahkan dari pilihan karena untuk hidup pun sebuah pilihan. Hidup harus memilih sebab hidup terdiri dari pilihan-pilihan. Dan hidup dan pilihan yang tidak terkoneksi adalah sebuah ilusi.


"Setelah aku lulus sarjana, Luk, baru aku tahu kalau pendidikan itu nggak penting,"
"Makanya pendidikan itu penting, Bang. Kalau Abang nggak berpendidikan, mana mungkin tahu kalau pendidikan itu nggak penting,"

(Syamsul dan Muluk, Alangkah Lucunya Negeri Ini)

Kamis, 19 Mei 2011

Menjadi Jahiliyah..

Belum lama ini, saya benar-benar mencermati setiap detail film Sang Pencerah. Terlepas dari latar belakang saya yang pernah menjadi bagian dari pergerakan Kyai Dahlan, saya terkesan. Yang mengesankan bagi saya memang bukan kesan teknis penggarapan film tersebut. Saya bukanlah pengamat sinema yang nglothok masalah teknis penggarapan. Saya tidak peduli gambar itu diambil dengan kamera jenis apa, dari angle berapa derajat, efek dimensi bagaimana, atau bahkan, para pemain itu diberi makan nasi kuning, nasi uduk, atau nasi goreng. Namun, saya bukan pula tipikal penonton yang nyenuk nonton karena ingin liat paras bagus para pemainnya, Slamet Rahardjo misalnya (?)...





Saya murni konsumen yang tau jadi. Tetapi, bagaimana pun juga sebagai konsumen yang tahu diri (tahu, diri ini sudah bayar; tahu, diri ini membutuhkan hiburan dan tahu, diri ini tidak ingin dirugikan), saya mencoba untuk berpikir. Saya berpikir : Apakah Kyai Dahlan itu benar-benar sang Pencerah? Atau ralat, benarkah tugas sang Pencerah telah usai seiring berdirinya Muhammadiyah?


Saya sangsi.
Sampai akhir zaman nanti, namanya kejahiliyahan tetaplah berkibar di Bumi kagungan Gusti kang Mahasuci ini. Kejahiliyahan bukan hanya monopoli Kanjeng Rasul atau mubaligh-mubaligh sekaliber Kyai Dahlan. Seperti halnya globalisasi, kejahiliyahan juga menjadi suatu variabel universal. Jahiliyah bukan hanya tekotak pada segi akidah dan fiqih. Jahiliyah bahkan merasuk dalam sisi paling dasar dari sebuah keyakinan, arti dari keyakinan itu sendiri.


Kalau hanya sekadar yakin, semua orang juga bisa yakin. Yakin, kalau bakal menang lotere (padahal pasang aja enggak), yakin kalau paras kita lebih oke dari selebriti Hollywood, yakin kalau SBY tu nggambleh jadi presiden, mendingan kita gantiin saja, dan aneka keyakinan lainnya.

Tetapi, itu sekadar yakin yang tidak berdasar. Kalaupun punya dasar, ya dibikin-bikin sendiri, dipaksa-paksa biar bisa diterima. Contoh tadi, hanyalah contoh yang sangat sederhana. Di dunia nyata nan fana ini, kejahiliyahan bahkan dapat merasuki elemen-elemen intelektualitas. Ranah yang dipijak bukan lagi masalah-masalah remeh temeh. Tidak jarang muncul golongan-golongan radikal, separatis, ingin mengibarkan panji-panji dalih agama yang justru tidak jauh dari mungkar.


Ironisnya, banyak naka muda kita yang terlalu naive memandang kehidupan. Mereka terlalu mudah menerima suatu hal baru, dan buruknya turut serta memaksakan hal tersebut. Maka muncullah doktrin.

Saya memang bukan orang sholeh, tapi saya juga tidak kafir. Saya tidak ingin disebut alim oleh sesama manusia, tidak ada gunanya. Predikat sholeh itu hanya bikin takabur, menutup mata, telinga, juga hati kita. Lihatlah para kyai di Kauman sebelum Kyai Dahlan. Sterotype ulama panutan telah meninggikan hati mereka. Merasa lebih wasis dibanding yang lain. Merasa lebih dekat dengan Gusti Pengeran (padahal belum keruan).

Dari rasa takabur ini, munculah idealisme-idealisme wagu. Semua diukur baju badan sendiri. Tidak mau melihat, tidak mau mendengar.


Selayaknya memang kita ini berpikir. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berpikir.

Minggu, 17 April 2011

Lelakon

Dunia ini memang aneh dan hidup di dunia aneh itu lebih aneh lagi. Kini, zamannya zaman edan, hidup di zaman edan itu edan tenan. Semua tampak mudah, murah, melimpah. Sampai-sampai, keringat saja tak perlu tumpah apalagi darah. Orang kaya sudah banyak, otomatis yang congkak makin banyak, ya to? Orang tajir tak lagi segelintir, artinya makin banyak orang kikir, 'tul nggak? Pejabat, punya pangkat, gaji bermilyard-milyard, eh masih saja nekat ngembat uang rakyat. Sudah cantik masih disuntik plastik hasilnya....bikin mata mendelik sambil terkikik. Naik mercy, tasnya Gucci, bajunya Armani, plesirnya keluar negeri, waladah, hatinya masih dihiasi iri dengki srei. Ckckckck. Uang masuk kantong bisa bangun rumah gedong, tapi sayang, dosanya jadi bergentong-gentong. Owalah lah, lelakon Mula aja padha takon, urip iku kaya dakon dilakoni alon-alon kanthi waton dimen bisa kelakon yaiku lelakon. Dadi manungsa aja padha lali marang sangkan paraning dumadi pangajab urip ya mung suji pasrah bekti marang Gusti kang Mahasuci.