Kamis, 21 Februari 2013

Esai Sosiologi jaman SMA (:


Kemajemukan dalam Semangat Kebangsaan
Sekar Hayati

Pending di khatulistiwa tanahku Indonesia..
Ribu pulaunya ragam sukunya..
Satu jiwa raganya..
Indonesia..Indonesia
Aku bangga menjadi anak Indonesia!

Tahu potongan syair lagu di atas?Ya, lirik sederhana yang diciptakan sang Maestro, A.T Mahmud, memang menggugah anak Indonesia untuk berbangga akan tanah airnya. Bangga akan kekayaan alamnya, bangga akan keberagamannya, dan bangga akan kesatuan jiwanya. Semangat persatuan yang bergelora dalam perbedaan sengaja ditanamkan pada generasi muda penerus bangsa.
Hidup di lingkungan yang majemuk adalah suatu tantangan tersendiri bagi suatu bangsa. Latar belakang yang beraneka turut menciptakan kultur-kultur hidup yang berbeda-beda. Kultur-kultur yang berbeda ini kadang ditumpangi dengan kepentingan-kepentingan yang berlainan dan tak jarang berlawanan.
Pada awalnya, menurut Dr. Nasikun, keberagaman ini terbentuk akibat letak dan bentuk Indonesia yang berpulau-pulau dan berjauh-jauhan. Kontak yang sulit terjadi antarpenduduk di beda area ini menimbulkan pola-pola hidup yang berbeda, termasuk adat budaya. Kondisi ini bahkan dapat menciptakan rasa tidak saling memiliki. Bagaimana tidak? Menyadari keberadaan satu sama lain saja belum tentu. Selebihnya, faktor lokasi yang diapit dua samudra membuka peluang bagi bangsa lain untuk masuk ke wilayah Nusantara dan memberi pengaruh pada kehidupan masyarakat pribumi. Pengaruh itu mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks. Mulai dari cara berpakaian sampai perkawinan. Seiring perjalanan waktu, keberagaman pun terbentuk dan terus berkembang hingga detik ini. Spektrumnya pun meluas. Bukan hanya melulu tentang suku, agama, etnis, kewilayahan, tetapi juga merambah ranah ideologi, opini, politik, hingga orientasi ekonomi.
Lalu bagaimana bila kemajemukan ini terjadi dalam suatu negara yang notabenenya harus bersatu? Tentu bukan perkara remeh, mengingat perbedaan itu sangat riskan menuai konflik. Masih ingatkah dengan beberapa kerusuhan antargolongan yang terjadi di beberapa wilayah di tanah air? Belum lagi, muncul komunitas-komunitas ideologi tertentu yang ingin merombak sistem pemerintahan kita saat ini. Malangnya, manuver-manuver yang dilancarkan justru menimbulkan keresahan masyarakat.
Furnival yang pernah menganalisis Indonesia pada era kolonial mengemukakan bahwa kemajemukan diindikasikan dengan tidak adanya kesamaan visi (common will) antargolongan yang ada kala itu. Bangsa Belanda menempatkan dirinya dalam koridor kepentingan pekerjaan semata. Sementara warga keturunan asing hanya berjibaku dengan segmen-segmen perekonomian. Kalangan Bumiputera sendiri hanya berkonsentrasi pada kapasitasnya sebagai kalangan kasta bawah. Ketiga golongan, diungkapkan Furnival, tetap mempertahankan pola pikir, tindakan dan rasa masing-masing. Hal inilah kemudian yang menciptakan lingkungan tidak padu. Kalangan yang tidak saling membaur dan “memenjarakan diri” dalam zona masing-masing inilah yang menimbulkan keberagaman berkonflik.
Maka dari itu, untuk menyatukan kalangan-kalangan tersebut, perlu dimunculkan suatu pengikat yang dapat menghubungkan masing-masing elemen. Masih menurut Dr. Nasikun, pengikat itu dapat berupa konsensus mengenai nilai-nilai kemasyarakatan yang mendasar. Konsensus atau kesepakatan memang diperlukan untuk membangun sebuah lingkungan masyarakat yang terintegrasi. Seperti kita ketahui bersama, kesamaan paham akan suatu fenomena akan lebih mudah membawa individu-individu yang berbeda untuk menyatu. Contoh mudahnya yang dekat dengan kehidupan kita adalah label Padmanaba bagi siswa-siswi SMAN 3 Yogyakarta. Siswa-siswi dengan latar belakang budaya, agama, etnis, bahkan ideologi yang berbeda dan cenderung mengelompok ini dapat menjadi solid akibat pemahaman akan ke-Padmanaba-an ini. Ada semacam kesepakatan mengenai apa-apa saja yang termasuk dalam kaidah ke-Padmanaba-an itu, lalu diyakini dan diaplikasikan. Dalam bidang yang lain, memang kemajemukan tidak terelakkan, tetapi menyangkut nilai yang sama maka kesatuan akan terwujud.
Selain itu keberadaan cross-cutting affiliation yang kemudian mendukung tumbuhnya cross-cutting loyalities. Cross-cutting loyalities yakni loyalitas yang silang menyilang antaranggota masyarakat terhadap kelompok-kelompok atau satuan-satuan sosial di mana mereka menjadi anggotanya. Meskipun termasuk dalam suatu kelompok, tidak menutup kemungkinan anggota tersebut juga termasuk dalam suatu komunitas lain. Misalnya saja seorang pegawai negeri yang juga tergabung dalam komunitas sepeda gembira. Maka, solidaritas yang terbentuk bukan hanya antarpegawai negeri, tetapi juga antarpecinta sepeda yang datang dari berbagai kalangan ini.
Melalui kedua landasan tersebut dapat disimpulkan bahwa kemajemukan suatu bangsa dapat terintegrasi. Indonesia dapat menjadikan perbedaan yang terbentang justru dapat dijadikan pengikat yang kuat. Apalagi Indonesia memiliki spirit kebangsaan Bhineka Tunggal Ika. Sekalipun berbeda-beda tetaplah satu. Satu nusa, satu bangsa, satu rasa, dan satu cita.
Ribu pulaunya ragam sukunya
Satu jiwa raganya..

Sabtu, 16 Februari 2013

Tentang Lelaki dan Perempuan


Suatu hari teman saya datang kepada saya- kami waktu itu ada sedikit kesalahpahaman- ia meminta maaf kepada saya.
“Sekar, aku sebagai laki-laki, aku minta maaf”
Saya pun berpikir, ngapain harus menambahkan embel-embel saya laki-laki. Dalam konsep otak saya, permintaan maaf tidak memandang perempuan atau laki-laki. Minta maaf ya minta maaf saja. Laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama, bisa bikin salah dan bisa disalahi. Dengan peluang dan kemungkinan yang sama ngapain dibedakan. Ini kan bukan seperti bikin toilet, meskipun sama-sama bisa buang hajat tapi biliknya dibedakan.
Belakangan saya baru paham, dia bilang demikian karena waktu itu masih siang hari, jadi dia masih seorang laki-laki, kalau hari sudah gelap mungkin intronya akan berbeda
“Sekar, aku sebagai....”
            Minta maaf dan memberi maaf merupakan hak dan kewajiban. Meminta maaf adalah hak sementara memberi maaf adalah kewajiban. Maka, saling memaafkan tak ubahnya sebuah transaksi ekonomi. Transaksi apa pun bentuknya, tidak dibatasi oleh gender.
            Misal ke pasar, namanya transakasi tidak memilih jenis kelamin, prosedurnya ya sama. Masa iya:
“Jeruk sekilo berapaan?” (ibu-ibu)
“25, Bu,”
“Jeruk sekilo berapaan?” (bapak-bapak)
“35, Pak,”
“Jeruk sekilo berapaan?” (banci)
“Gak dijual”
            Laki-laki dan perempuan secara global sama saja. Bahkan di dalam rumah tanggapun sering terjadi yang demikian. Bapak ibu sama-sama bekerja, sama-sama punya andil dalam mengatur urusan keluarga. Bapak sebagai raja, tapi tetap saja ibu sebagai perdana menteri. Ya, endingnya tampuk kekuasaan memang ada pada ibu sih....setidaknya kan sama-sama pemimpin.
            Tapi saya heran, masyarakat kita ini memang suka membedakan bagian laki-laki dan perempuan, sampai hal-hal yang sepele seperti masalah siapa yang punya hak dagang makanan!
Sampai sekarang saya masih tidak paham mengapa pedagang mi ayam, bakso, soto kebanyakan bapak-bapak. Di pinggir-pinggir jalan yang lebih populer adalah bakso pak kumis, soto cak parno, bakso pak narto dan sebagainya. Tidak ada yang pake bu atau mbak. Mungkin efek doktrin dari lagu jaman anak-anak dulu: “Abang tukang bakso mari-mari sini, saya mau beli..” Abang..bukan emak!
Sementara, penjual lotek, gado-gado, gudeg dan apa pun yang pake nasi kebanyakan juga perempuan. Gudeg Yu Jum, gudeg Bu Citro, gado-gado Yu Yem, nasi pecel Bu Wiryo. What’s wrong baby? Kenapa gak pake nama suaminya? Padahal yang modalin suaminya...
Misal gudeg Pak Citro
“Pak beli gudeg”
“Hmmm.” (tampang horor)
“Arehnya 2 sendok”
“Hmmm,”
“Pake krecek tapi gak usah pake cabe, trus ayam suwirnya dari pupu ya Pak, ohya ijo-ijoannya dikit aja. Nasinya separuh, dipisah. Ditambahin telor separuh. Trus tempe seprem..huaaaaaaaaaa”
-----disiram areh mendidih-----
            Ini misteri yang fundamental.
*Ya kalau masalah kenapa penjual cilok harus mas-mas alay polem dan kenapa bunyi-bunyian pedagang keliling beda-beda, siapa yang ngatur, tidak akan dibahas di sini*
            Masyarakat juga tidak adil. Kalau perempuan merambah dunia yang didominasi para pria maka akan dibanggakan, dijadikan contoh. Kalau perempuan jadi politisi, jadi polisi disebutnya emansipasi. Tapi kenapa kalau laki-laki jadi tukang masak, tukang rias, perancang busana dicuekin aja? Malah sebagian kaum ekstrimis langsung memvonis kiamat sudah dekat. Apa bedanyaaaa???
           
            

Senin, 11 Februari 2013

Masalah Kencing

Pernah dengar pomeo ini?

"Guru kencing berdiri, murid kencing berlari"

Apa yang terbayangkan di benak Anda sekalian?
Menurut guru saya jaman SD, keburukan yang ditunjukkan oleh guru atau orang tua akan menular ke murid atau anak dan bisa jadi lebih buruk.

Itulah mengapa, orang dewasa harus hati-hati dalam berbuat di hadapan anak-anak.

Tapi, seiring berjalannya waktu, saya jadi berpikir, ini bukan pomeo negatif.
Ini justru motivasi agar murid itu harus bisa lebih jago dari gurunya. Murid harus punya ilmu yang lebih dari gurunya. Baru itu dianggap sukses.

Susah loh kencing sambil lari-lari...kan bisa kemana-mana. Perlu skill yang tinggi. Kepercayaandiri yang kuat.
Itu cuman perumpamaan saja. Maknanya, sebagai murid, jangan puas dengan apa yang diberikan, harus bisa lebih menggali agar kedepannya lebih sukses. Harus lebih bekerja keras, mengasah rasa ingin tahu, banyak cari tahu, banyak mencoba dan tidak takut gagal.

 Itulah seharusnya mental generasi muda. Mental murid kencing berlari!

Jumat, 01 Februari 2013

Ijinkan Aku Wegah Sesaat Saja

"Kenapa kemarin tidak hadir di acara itu?"
"Ah. Males."
"Yah, itu sih bukan alasan."

"Kamu kenapa gak suka cabe? Alergi? Gak kuat pedes?"
"Enggak ada alergi, kuat pedes. Tapi  ya gak suka aja"

Pernah dengar, atau malah sering, atau malah mengalami sendiri?
Saya sering begitu.
Saya phobia sama kapas. Kenapa? Ya takut aja. Tidak ada alasan spesifik kenapa.

Terkadang memang begitu,
Tidak semua hal terjadi dengan alasan logis yang bisa diterima.
Seperti: Ya pengen aja. Males. Nggak suka aja. Wegah dll

Kalo dilihat-lihat, memang betul, itu semua bukan alasan. Terlalu sentimentil.
Tapi, menurut saya pribadi, itu alasan lho.
Manusia tidak selalu in a good mood 'kan? Adakalanya, sedang tidak ingin. Namun, sering juga merasa sangat-sangat excited, sehingga menginginkan hal-hal tertentu. Maka, ketika ditanya mengapa, kesulitan mendeskripsikannya.

Manusia punya dua kekuatan non fisik yakni logis dan psikologis. Artinya manusia mampu mengoprasikan sesuatu berdasarkan rasio atau akal sehat dan hati atau perasaan. Bukankah begitu?
Nah, berangkat dari itu semua, sebenarnya sah-sah saja irasional reasons muncul.

Sekalipun otak mampu berpikir, bila hati tidak berkehendak maka akan sulit. Sebab hati kaitannya dengan niat dan niat itu mempengaruhi kinerja.
Kalau hati sudah berkehendak, maka cara apa pun akan dilakukan. Rasio hanyalah jadi penunjang.

Ibu saya sering heran, melihat pola pikir saya. Ada beberapa kali saya tidak mengambil kesempatan yang terbentang di depan saya. Tidak seperti selayaknya.
Beliau makin gemes ketika saya menyebut alasan : Aku sedang tidak kepengen.
Ibu saya adalah orang yang kadang jalan gak pake rasa. Betul. Gak pake rasa capek, membuang jauh-jauh sentimen pribadi, seperti tidak pernah punya rasa ingin atau obsesi, dan tidak suka musik.
Itulah ibu saya, ajaib.

Bagaimana pun juga kita tetap harus bisa bijak. Kapan kita "menguja" perasaan kita dan kapan kita harus menepiskannya.Tidak baik juga terlalu mengumbar perasaan hati, dalam hal ini. Kita akan tumbuh menjadi pemalas, lambat dan sentimentil.

 Ijinkanlah diri untuk merasa wegah, tapi ingat sesekali saja ya..jangan keseringan.