Minggu, 22 Mei 2011

Hidup Pilihan, Pilihan Hidup

"Ngapain lo gampar anak buah gue?"
"Goblok banget nih anak buah lo! Bego!"
"Ye biarin aje, dia emang pengen goblok, suka-suka die!"

Potongan dialog di atas saya saksikan di sebuah film yang sangat inspirasional bagi saya, Alangkah Lucunya Negeri Ini. Pembicaraan antara dua copet cilik ini memang tampak sederhana dan biasa saja. Namun, sebenarnya ini memberi sebuah pencerahan bagi kita untuk merenung sejenak..

(space untuk merenung)



Sudah barang tentu kita sangat familiar dengan kata bijak yang satu ini : Hidup adalah pilihan.

Macam-macam penafsiran dari kata bijak tersebut.

1) Hidup adalah pilihan yang artinya memilih untuk hidup, bukannya mati. Kita mengalahkan opsi untuk mati (karena kita bisa saja mempercepat takdir Tuhan dengan aneka cara) dengan memilih untuk tetap hidup.

2)Hidup adalah pilihan, artinya hidup ini dipenuhi dengan pilihan-pilihan jalan. Mau kita apakan hidup yang kita miliki ini. Apa yang bisa kita lakukan dalam hidup ini, apakah keburukan ataukah kebaikan. Jadi penjahat atau penjahit. Termasuk memilih untuk jadi goblok seperti dialog pembuka di atas.

3)Hidup adalah pilihan, artinya tidak memilih sama dengan tidak hidup. Tanpa pilihan ibarat terombang-ambing dalam sebuah bidang kosong yang tidak terdeskripsikan.



Ketiganya adalah substansi dasar dari memilih kehidupan dan menghidupkan pilihan. Hidup tidak bisa dipisahkan dari pilihan karena untuk hidup pun sebuah pilihan. Hidup harus memilih sebab hidup terdiri dari pilihan-pilihan. Dan hidup dan pilihan yang tidak terkoneksi adalah sebuah ilusi.


"Setelah aku lulus sarjana, Luk, baru aku tahu kalau pendidikan itu nggak penting,"
"Makanya pendidikan itu penting, Bang. Kalau Abang nggak berpendidikan, mana mungkin tahu kalau pendidikan itu nggak penting,"

(Syamsul dan Muluk, Alangkah Lucunya Negeri Ini)

Kamis, 19 Mei 2011

Menjadi Jahiliyah..

Belum lama ini, saya benar-benar mencermati setiap detail film Sang Pencerah. Terlepas dari latar belakang saya yang pernah menjadi bagian dari pergerakan Kyai Dahlan, saya terkesan. Yang mengesankan bagi saya memang bukan kesan teknis penggarapan film tersebut. Saya bukanlah pengamat sinema yang nglothok masalah teknis penggarapan. Saya tidak peduli gambar itu diambil dengan kamera jenis apa, dari angle berapa derajat, efek dimensi bagaimana, atau bahkan, para pemain itu diberi makan nasi kuning, nasi uduk, atau nasi goreng. Namun, saya bukan pula tipikal penonton yang nyenuk nonton karena ingin liat paras bagus para pemainnya, Slamet Rahardjo misalnya (?)...





Saya murni konsumen yang tau jadi. Tetapi, bagaimana pun juga sebagai konsumen yang tahu diri (tahu, diri ini sudah bayar; tahu, diri ini membutuhkan hiburan dan tahu, diri ini tidak ingin dirugikan), saya mencoba untuk berpikir. Saya berpikir : Apakah Kyai Dahlan itu benar-benar sang Pencerah? Atau ralat, benarkah tugas sang Pencerah telah usai seiring berdirinya Muhammadiyah?


Saya sangsi.
Sampai akhir zaman nanti, namanya kejahiliyahan tetaplah berkibar di Bumi kagungan Gusti kang Mahasuci ini. Kejahiliyahan bukan hanya monopoli Kanjeng Rasul atau mubaligh-mubaligh sekaliber Kyai Dahlan. Seperti halnya globalisasi, kejahiliyahan juga menjadi suatu variabel universal. Jahiliyah bukan hanya tekotak pada segi akidah dan fiqih. Jahiliyah bahkan merasuk dalam sisi paling dasar dari sebuah keyakinan, arti dari keyakinan itu sendiri.


Kalau hanya sekadar yakin, semua orang juga bisa yakin. Yakin, kalau bakal menang lotere (padahal pasang aja enggak), yakin kalau paras kita lebih oke dari selebriti Hollywood, yakin kalau SBY tu nggambleh jadi presiden, mendingan kita gantiin saja, dan aneka keyakinan lainnya.

Tetapi, itu sekadar yakin yang tidak berdasar. Kalaupun punya dasar, ya dibikin-bikin sendiri, dipaksa-paksa biar bisa diterima. Contoh tadi, hanyalah contoh yang sangat sederhana. Di dunia nyata nan fana ini, kejahiliyahan bahkan dapat merasuki elemen-elemen intelektualitas. Ranah yang dipijak bukan lagi masalah-masalah remeh temeh. Tidak jarang muncul golongan-golongan radikal, separatis, ingin mengibarkan panji-panji dalih agama yang justru tidak jauh dari mungkar.


Ironisnya, banyak naka muda kita yang terlalu naive memandang kehidupan. Mereka terlalu mudah menerima suatu hal baru, dan buruknya turut serta memaksakan hal tersebut. Maka muncullah doktrin.

Saya memang bukan orang sholeh, tapi saya juga tidak kafir. Saya tidak ingin disebut alim oleh sesama manusia, tidak ada gunanya. Predikat sholeh itu hanya bikin takabur, menutup mata, telinga, juga hati kita. Lihatlah para kyai di Kauman sebelum Kyai Dahlan. Sterotype ulama panutan telah meninggikan hati mereka. Merasa lebih wasis dibanding yang lain. Merasa lebih dekat dengan Gusti Pengeran (padahal belum keruan).

Dari rasa takabur ini, munculah idealisme-idealisme wagu. Semua diukur baju badan sendiri. Tidak mau melihat, tidak mau mendengar.


Selayaknya memang kita ini berpikir. Sesungguhnya, Allah mencintai orang-orang yang berpikir.