Sabtu, 28 Januari 2012

Makin Kaya Makin Gila

Apa yang mampu kita ingat bila kata "kaya" melintas?

Mobil-mobil mewah?

Uang melimpah?

Berbidang-bidang tanah?

Rumah megah ?

Hidup serba mudah dan gaya hidup yang "wah"?


Kita memang belum bisa berteriak lantang untuk persamaan sosial. Ditelan atau tidak, realita

stratifikasi sosial adalah pil pahit yang terus bergulir di masyarakat kita. Hanya saja, kemasannya yang berbeda. Jika dulu (atau mungkin hingga kini), pelapisan sosial terang-terangan dipublikasikan melalui, kasta, feodalisme, rasisme- kini diwakili oleh kondisi ekonomi dan jabatan.


Kaya, selama ini terjebak dalam parameter finansial. Tidak pandang personal, siapapun yang banyak uang dan dandan necis, ialah sang "the Have". Secara otomatis, mereka akan terkelompokkan ke dalam level tersendiri. Tidak peduli seperti apa perilaku mereka. Kaya ya kaya, entah yang kaya kayak apa.


Bisa beli apa saja, plesir kemana saja, makan hidangan apa saja. Sayangnya, terkadang tingkah polah serta pola pikirnya tidak lebih dari manifestasi kepandiran sosial.


Masalah sosial ini ternyata menarik perhatian seorang kolumnis populer, Samuel Mulia, untuk mengulasnya dalam "Mendadak Kaya". Samuel mengemasnya dalam sebuah parodi. Parodi, selain sebagai ciri khas kolumnis ini, merupakan karya sastra yang ramah dan mudah untuk untuk dicerna.


Kembali pada pokok bahasan. Kaya itu watak, kaya itu mind set. Mengukur kekayaan bukan dengan nominal, komunal, tetapi mental of personal. Sudah seharusnya, sterotype kaya itu diapresiasi dengan kaya juga. Artinya, kita harus kaya hati, kaya pikir, kaya pengalaman, ringkasnya : bijak.


Kaya bukan direngkuh dengan keangkuhan. Ia diraih dengan kekukuhan. Tidak akan tampak, kaya yang dibalut congkak.


Kalau boleh saya mengutip tulisan Samuel Mulia yang sempat disinggung sebelumnya :

Menjadi kaya itu bukan waktu untuk melampiaskan dendam masa lalu karena pernah tak punya apa-apa. Balas dendam karena dilecehkan oleh orang yang terlebih dahulu kaya atau yang nasibnya dari dulu memang kaya raya.


Materi menjadi semacam senjata pamungkas pemangkas perkara. Kehormatan, kepercayaan, kesenangan, kemudahan bisa dikecap bila ada syarat bernama materi. Maka dari itu, berlombalah kita dalam mengumpulkannya, hingga seolah tidak pernah cukup. Entah bagaimana caranya. Hanya demi tujuannya : pengakuan publik atau sekadar praja. Tidak heran kini mudah bagi kita menemukan orang kaya. Di kota atau di desa, entah pegawai entah pengusaha, baik tua maupun muda, bisa jejaka bisa duda, boleh gadis boleh janda, aneka rupa orang kaya.


Namun, awas, waspadalah! Kekayaan yang datang tiba-tiba bisa jadi sangat mengejutkan bila tanpa persiapan mental. Orang sosial bilang, shock culture atau culture lag. Kaget budaya, kere munggah mbale, orang kaya baru. Jika meminjam istilah Samuel tadi, ya gegar otak.


Perubahan drastis dari hidup pailit serba sulit lalu abakadabra......banyak duit. Inilah mengapa, kaya itu harus disikapi dengan bijak agar semakin kita kaya, kita tidak makin gila.